Kisah Lembah Albertine Afrika
Paradoks lembah albertine
adalah bahwa kekayaan berlimpah yang diperebutkan itu menyusut begitu cepat. Orang
berduyun-duyun mendatangi kawasan ini karena lahan vulkaniknya yang subur,
curah hujanya yang tinggi, keragaman hayatinya, dan ketinggianya, yang tidak
cocok bagi nyamuk malaria dan nyamuk tsetse beserta penyakit yang mereka bawa. Dengan
melesatnya jumlah populasi, semakin banyak pula hutan yang dibabat untuk lahan
pertanian dan penggembalaan. Bahkan pada abad ke-19, taman firdaus yang memukau
para pengunjungnya itu sudah mengundang pertanyaan: apakah cukup untuk memenuhi
kebutuhan semua orang?
Pertanyaan itu kini membebani setiap jengkal tanah di lembah
albertine, yang tingkat kesuburanya termasuk yang paling baik di dunia, dan
tempat meletusnya kekerasan antarmanusia dan dengan satwa-dalam adegan
mengerikan perebutan lahan, gelombang arus pengungsi, perkosaan masal, dan
taman nasional yang dijarah. Padahal, itulah satu-satunya tempat berlindung di
bumi bagi marga satwa.
KAWASAN SARAT TANTANGAN
Dengan penduduk padat dan
miskin setelah berpuluh tahun dilanda perang, peringkat Uganda, Rwanda, dan DRC
berada hampir dibagian bawah setiap indeks pembangunan manusia.
BENIH PERTIKAIAN
Penduduk awal
Sejak 6000 SM,
pemburu-pengumpul mencari nafkah di sungai yang bermuara di danau Victoria .
1000 SM-500 SM penggunaan
bahasa bantu dari barat dan penggunaan bahasa sudan dan cushit dari utara
menyebar di wilayah yang kaya sumber daya ini yang sekarang di tempati oleh
Rwanda, Burundi, Uganda, dan Republik Demokrasi Kongo Timur. Mereka membawa
perkakas dari besi dan batu. Pada 500 M penduduk yang beragam ini menyatu dan
menggunakan beberapa bahasa bantu yang bermiripan. Mereka menanam sorgum,
milet, dan yam, serta memelihara sapi, biri-biri, dan kambing.
1600-an kerajaan-kerajaan
yang sangat terorganisasi terdapat di seluruh wilayah. Beberapa kerajaan
seperti Rwanda dan bunyoro, membentuk kelas atas yang terdiri atas gembala sapi
yang memisahkan diri dari para petani lewat cara berpakaian dan jenis makanan,
dan menjadi kasta lebih terhormat.
1800-an para penjajah
eropa yang mencari hulu sungai nil terpaku melihat kerajaan-kerajaan maju di
sana. Mereka mengira orang nilot (seperti tutsi) menyebut para petani bantu (seperti
huntu) dan menakhlukan mereka. Perdagangan gaging dan budak tumbuh subur
tatkala kekuasaan eropa memecah belah afrika.
Masa penjajahan
1919-1950-an setelah PD
1, traktat Versailles memberikan jajahan jerman (Ruanda-Urundi) kepada Belgia,
yang mengistimewakan tutsi, dan memicu perpecahan. Orang hutu yang warga rwanda
dibawa ke Kongo untuk bekerja di tambang dan kebun.
Pembentukan negara
merdeka
1925 taman nasional
pertama di Afrika didirikan untuk melindungi gorila dan habitat mereka di
pegunungan virunga dari gangguan manusia.
1960-1962 Kongo, Burundi,
Rwanda, dan Uganda memperoleh kemerdekaan. Luas Rwanda dan Burundi yang sempit
meningkatkan ketegangan tatkala Tutsi dan Hutu memperebutkan kekuasaan. Ketegangan
etnik menyebar ke negara-negara yang lebih besar.
1972-1973 Hutu bangkit melawan
pemerintah yang dikendalikan Tutsi di Burundi. Sebagai tanggapan, pasukan milisi
Tutsi menewaskan hingga 200.000 orang hutu, dan sejumlah yang sama menyelamatkan
diri ke beberapa negara tetangga, terutama ke tanzania. Kelangkaan lahan
semakin mempersengit pertikaian
1986 presiden museveni
dari uganda memegang tampuk kekuasaan. Pemberontak lord’s resistance Army
terbentuk di utara uganda. Pasukan ini membunuh atau menculik puluhan ribu
orang.
1989 perdagangan
internasional gading gajah dilarang sebagai reaksi atas pembantaian gajah
afrika.
Genosida-Perang saudara-Meninggalkan
rumah
1993 presiden Burundi
dari suku Hutu dibunuh dan menyulut pembantaian orang Tutsi. Sekitar 700.000
orang melarikan diri meninggalkan negeri itu.
1994 presiden Burundi dan
presiden Rwanda tewas dalam kecelakaan pesawat terbang yang mencurigakan,
menyulut kerusuhan selama tiga bulan di Rwanda. Sekitar satu juta orang Tutsi
dan orang Hutu moderat tewas selama genosida itu. Paul Kagame memimpin Tutsi mengambil
alih pemerintahan Rwanda, dan milisi Hutu mundur ke Zaire(DRC) timur.
1996-1997 Dengan bantuan Rwanda dan
Uganda, orang kongo dari suku Tutsi menggulingkan diktator Zaire, Mobutu. Pemimpin
pemberontak Kabila jadi presiden DRC.
1998-2003 Pemberontak kongo,
didukung Rwanda dan Uganda mengambil alih kendali atas Kongo Timur. Dibantu
pihak luar, kabilah menumpas pemberontak. Jutaan orang tewas.
2006 cadangan minyak
ditemukan di danau albert.
2007 jagawan T.N. Virunga
menemukan tujuh gorila gunung yang dijagal, dikhawatirkan, kekerasn telah
menjamah taman.
2010-sekarang meski ada
kesepakatan damai, konflik terus berlangsung di DRC yang kaya sumber daya. Ketengangan
antarsuku terus berlangsung. Namun, yang mendasari pertikaian itu adalah
ketidak puasan atas langkanya lahan dan
perebutan sumber daya mineral.
Explore the Albertine
Komentar
Posting Komentar